Senin, 14 Desember 2009

तुगास फिल्सफत

1. Ontologi diri
Ontologi ini merupakan lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Salah seorang filusuf barat yang paling tua yang kita kenal pada waktu ini adalah thales yang menyelidiki tentang air yang terdapat dimana-mana, beliau menyimpulkan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Ontologi diri merupakan penyelidikan yang terdalam dari diri kita yaitu : siapa diri ini dan apa yang diri kita lakukan atau penyelidikan tentang hakekat diri.
Ketika aku menyelidiki tentang hakikat diriku dan merenung sejenak tentang diriku aku pun teringat dengan latar belakang penciptaan semua makhluk, Tuhan mengatakan bahwa manusia jin dan malaikat aku ciptakan hanya untuk beribadah kepadaku,
a. Siapa diriku?
Diriku adalah seorang ‘abid dan hakikat diriku adalah fana tetapi perintahmulah yang membuatku ada dan bahwa aku tidak akan ada tanpa dirimu karena diriku adalah wujud dari dirimu, sifatmu kelihatan karena diriku, dan aku hanya tunduk pada hakikatku sebagai seorang ‘abid dan bukan tertunduk karena keperluanku akan duniaku
2. Bersatunya awal dan akhir.
Nol merupakan suatu yang hampa dan tidak ada apa-apa di dalamnya tapi merupakan suatu permulaan bagi sesuatu yang ada. Tuhan menciptakan tiga waktu untuk makhluknya yaitu awal, tengah dan akhir. Awal merupakan titik permulaan untuk melakukan sesuatu, Tengah sebagai proses menuju apa yang kita tuju, dan Akhir merupakan akhirnya sesuatu yang kita lakukan dan pada akhirnya Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Akhirat adalah tempat bersatunya awal dan akhir. Karena disana aku kau dan kami akan memberikan pertanggungjawaban atas apa yang kau kerjakan dari awal sampai akhir dari kehidupan kamu kau dan mereka. Dan bersatunya awal dan akhir itu adalah akhir dari kehidupan yang kita alami (Akhirat). (from zero to hero).
3. Bahasa sehat dan bahasa sakit.
Bahasa tersusun dari perangkat-perangkat tanda yang di gabungkan dengan cara-cara tertentu. Ada tanda satu demi satu, seperti yang di tunjukkan oleh abjad. Bila hurup-hurup ini di gabungkan dengan cara-cara tertentu maka sejumlah darinya menimbulkan apa yang di namakan “kata-kata”atau “istilah-istilah dasar” bahasa. Misalnya, kita menjumpai hurup a,t,c,d jika a,t,c ketika dari hurup-hurup ini di gabungkan dengan urutan yang tepat maka kita memperoleh kata “cat” ini lah hakekat bahasa.
Dalam bahasa sering adanya kalimat dan pernyataan. jika kata-kata dipersatukan sesuai dengan aturan-aturan sintaksis suatu bahasa, maka terjadilah kalimat-kalimat, misalnya. Harus, kamu, sopan,orang,lain,sama.jika kata-kata ini dibariskan sedemikian rupa sehingga memenuhi aturan-aturan sintaksis maka akan memperoleh pernyataan seperti ini : kamu harus sopan sama orang lain.
Pernyataan dapat digunakan untuk sejumlah tujuan. Pernyataann dapat memuat atau memberitahukan pengetahuan. Misalnya pernyataan : belajar filsafat adalah untuk berfikir bijaksana terhadap sesuatu. Dari pernyataan ini kita mengetahui bahwa melalui belajar filsafat kita akan berfikir bijak dengan berfikir secara mendalam tentang sesuatu fenomena yang terjadi bukan langsung memaknai secara luar saja. itulah inti pernyataan filsafat. Atau misalnya Tuhan Bersifat Pengampun. Yang dimaksudkan untuk memuat informasi bahwa tuhan itu maha pengampun bagi makhluknya yang khilap, atau misalnya pernyataan-pernyataan yang di gunakan hanya sebagai ungkapan puitis seperti “cintaku bersifat abadi” hanya mengungkapkan perasaan, mungkin bersifat puitis. Namun tidak bersifat informatif dan hampir tidak mempunyai ketika kita melihat nya secara harfiah. Ini kalau dilihat secara filsafat bahasa tidak mengandung unsur filsafati.
Jadi bahasa sehat itu adalah bahasa yang aturan-aturan hurup dan katanya bisa menjadi kalimat yang mempunyai makna dalam (memberikan ilmu pengetahuan) dan informatif bukan hanya sekedar pernyataan yang kalau dilihat secara harfiah tidak mengandung makna. Dan bahasa sakit adalah bahasa yang tidak tersusun tata letak kata dan hurupnya sehingga kalimat-kalimat yang ada tidak sesuai dengan maksud pernyataan sehingga tidak sedikit pun memuat informasi atau memberikan ilmu pengetahuan.
4. Kesalahan tertinggi.
Kesalahan tertinggi adalah kesalahan kita pada seorang yang menciptakan kita yaitu Allah, bukan yang lain, atau bukan sesama manusia. Kesalahan manusia lebih kepada kehilapan terhadap apa yang terjadi. kehilapan itu terjadi karena kita belum mengenal satu sama lain. Jadi kesalahan tertinggi adalah kesalahan kita kepada tuhan. Yaitu melanggar apa yang beliau perintahkan dan melaksakan apa yang beliau larang. Ini lah kesalahan tertinggi.

Minggu, 05 Juli 2009

जुदुल टोरी SASTRA

SASTRA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP BANGSA INDONESIA

PENDAHULUAN

Kesusastraan sebagai cabang kebudayaan meliputi pengertian apa saja yang dinyatakan dengan memakai alat bahasa, baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Didalam kesusastraan itu orang dapat membaca sejarah, pengalaman, pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan, politik , cita-cita dan lain-lain, kegiatan yang terdapat di sekitar kehidupan manusia pemilik kesusastraan itu. Pada dasarnya kesusastraan itu bersifat perorangan, artinya timbul dan dikarang oleh seseorang, dengan maksud untuk menyampaikan pengetahuan, kebijaksanaan, perasaan dan cita-cita dari pengarang itu sendiri mengenai apa yang dia inginkan untuk negerinya, dan agar diketahui sehingga turut dirasakan oleh orang lain. Oleh karena eratnya hubungan individu dengan masyarakat, khususnya pada masyarakat lama, maka hasil karya perorangan itupun merupakan gambaran keadaan pengetahuan, kebijaksanaan, perasaan dan cita-cita masyarakat tempat pengarang itu hidup.

Pada umumnya para ahli membagi sastra atas tiga bagian yaitu prosa, puisi dan drama, dimana prosa merupakan karya sastra yang imajinatif yaitu pengalaman manusia yang diungkapkan melalui cerpen, novel dan roman, dan puisi merupakan sebuah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dan hasil dari pengungkapan sebuah peristiwa atau kejadian yang terdapat didalam kehidupannya sehari-hari, (Mulyana, 1956 : 110).

Prosa adalah jenis tulisan yang lebih lugas atau sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa latin yang berarti terus terang, digunakan untuk mendeskripsikan gagasan atau fakta yang di liat, dialami dan di ketahui yang di buat. Dalam perkembangannya, sebuah karya sastra lama maupun karya sastra baru, memiliki nilai-nilai tertentu yang sesuai dengan perkembangan zaman yang dihadapi masyarakat. Nilai-nilai itu dengan sengaja atau tidak akan disampaikan oleh pengarang pada pembaca lewat karyanya. Oleh Karen itu, untuk membaca sebuah karya sastra pembaca harus dibekali dengan Prosa itu sendiri sehingga pesan yang akan disampaikan dalam cerita atau. novel tersebut bisa dimengerti.

Dalam karya sastra prosa itu sendiri di bagi menjadi dua yaitu prosa nonimajinatif dan imajinatif karya sastra prosa yang imajinatif adalah karya fiksi yang terdiri dari novel /roman dan cerpen, sedangkan cerpen harus dibedakan pula ada yang bener-bener cerpen ada pula kisah dan sketsa. Mengenai definisi cerpen ada bermacam-macam, tetapi semua dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah karangan pendek, padat dan lengkap. Mengemukakan satu masalah pokok yang menarik dan mengesankan pembagian jenis cerpen dan novel ada pendapat pula. Tetapi dapat disimpulkan pula pembagianya menurut apa yang ditekankan atau yang ditonjolkan dalam cerita itu, baik dilihat dari unsur-unsurnya atau dilihat pada masalah yang dikemukakan atau yang dipaparkan.

Cerita pendek terdiri dari kata cerita dan pendek. Tidak semua cerita yang pendek bisa kita klasifikasikan cerpen. Banyak orang mengira apa yang dibacanya dalam bentuk cerita yang pendek adalah cerpen, padahal sebenarnya merupakan kisah atau sketsa (lukisan). Cerita yang termasuk kisah misalnya “kesan dan kenangan” karya Achdiat K. Miharja. Dan cerita yang tergolong sketsa misalnya “corat-coret di Bawah Tanah”. Kisah maksudnya cerita tentang perjalanan seseorang kesuatu tempat yang diceritakan dengan menarik dan bahasa yang indah. Sketsa maksudnya cerita tentang situasi tertentu yang dihadapi oleh orang-orang dalam saat tertentu pula. Atau menceritakan sebagian kehidupan orang secara padat. (Brahim dkk, 1985 : 87-89).

Putu arya Tirtawirya dalam bukunya (1980) menyatakan bahwa sebuah cerpen atau short story, pada dasarnya menuntut, jelasnya perwatakan pada tokoh cerita. Sang tokoh menjadi sentral ide cerita. Mery Sedgwick mengatakan bahwa “cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu (Noto Susanto 1957 : 29).

Novel pada akhirnya mengenal pemerian berdasarkan suasana dominan yang membungkusnya. Ada novel sejarah (epic), novel religi, novel sains (science fiction), novel petualangan, novel keluarga, atau label-label lain yang sebenarnya adalah bagian dari strategi pemasaran para penerbit buku. Bentuk cerpen sepertinya memang menjadi milik media masa sepenuhnya. Terlebih ketika para penerbit buku cenderung memilih menerbitkan novel sebagai penambah dari hasil yang diinginkan.

Salah satu wujud karya sastra yang lain adalah puisi dimana Puisi adalah untaian kata-kata yang dibentuk dengan cara yang khas, yang memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Puisi dijadikan sebagai pengungkapan pengalaman batin. Pengalaman yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetika (indah), (Brahim dkk, 1985 : 2). Dengan penggunaan bahasa yang khas itu puisi dapat menggugah perasaan haru atas pendengarnya.

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dibandingkan dengan bentuk prosa. Pemilihan kata atau diksi dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi : makna, ritme, dan jangkauan simboliknya. Kata-kata dalam puisi di olah sedemikian rupa sehingga dapat menjelmakan pengalaman jiwa yang senyata-nyatanya dalam diri pembaca. Menurut H.B. Yasin (1953 : 54), sangat sulit untuk mendefinisikan puisi itu dengan tepat, dengan singkat dia mengatka bahwa prosa adalah pengucapan dengan pikiran dan puisi adalah pengucapan dengan perasaan. Jadi puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, dan di gubah dalam wujud yang paling berkesan.

Puisi dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Macam-macam itu dapat dibagi menurut bentuk, isi dan ketersuratan serta ketersiratana. Berdasarkan isi dan garis besar puisi dapat dibedakan atas tiga jenis (1) puisi liris, (2) puisi naratiif (3) dan puisi dramatis.

Puisi liris merupakan puisi yang menggambarkan perasaan pribadinya dan yang diutamakan adalah lukisan perasaannya, sebagai misalnya,lukisan perasaan Muhammad Yamin yang memuja negerinya.

(TANAH AIR)

Gunung dan bukit bukan sedikit

Melengkung ditaman bergulung-gulung

Memagari dataran beberapa lembah

Di sanalah penduduk tegak dan rendah

Sejak beliung dapat di merambah

Sampai kezaman sudah berubah

Sabas andalas bunga bergebh

Mari kujunjung mari kusembah

Hatiku sedikit haram dirubah.

Yang dimaksud dengan puisi naratif adalah puisi yang bersifat menjelaskan atau menceritakan sesuatu yang bersifat kisahan seperti dalam karya-karya Taufik Ismail puisi yang menceritakan masa-masa pergolakan tahun 1966. Perhatikan “karangan bunga” yang sedikit melukiskan keadaan pada ma situ.

KARANGAN BUNGA

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Sore itu

Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Bagi kakak yang ditembak mati

Siang tadi

(Taufik Ismail)

Dalam bahasa indonesia. Sementara itu, asal-usul sastra adalah susastra, yaitu sastra yang indah tanpa perbedaan apakah sastra itu ditulis atau disebarkan secara lisan. Implikasi sastra dalam susastra adalah ajaran moral, dan karena itu titik berat sastra adalah ajaran moralnya. Kendati litera atau hurup seolah tidak ada kaitannya dengan moral, sastra barat pun tetap menmperhitungkan masalah moral. Horatius misalnya, menyatakan bahwa seni termasuk sastra harus mempunyai dua unsure yang saling berkaitan yaitu (dulce) kenikmatan dan utile (kegunaan yang dapat dipetik oleh orang yang berhadapan dengan seni, termasuk sastra).

Jadi dari definisi prosa dan sastra diatas penulis berpendapat bahwa prosa dan puisi dianggap sebagai dasar dari teori sastra indonesia dimana kesemuanya itu adalah sebuah permulaan untuk bisa dijadikan sebagai tolok ukur dalam membuat sebuah kajian sastra yang indah, berguna dan bermanfaat bagi orang lain sehingga karya sastra itu sendiri tidak lepas dari pungsi yang di berikan oleh Horatius yaitu dulce, dan utile

FUNGSI SASTRA

Horatius mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra haruslah dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan nikmat). Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain pada isinya, fokus keindahan sastra terletak pada bahasa. Dalam sebuah karya sastra, bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi ; karena adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie) ; juga karena adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan “mempermainkan” bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal penuh dengan ambiguitas dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak beraturan dan irrasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dalam bahasa sastra sangat dipentingkan tanda, simbolisme, dan suara dari kata-kata. Bahasa sastra bersifat konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Welleck & Warren, 1990 : 15).

Karya sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005 : 16).

Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang ‘mungkin’ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun, menurut Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahui (Welleck & Warren, 1990 : 30-31).

Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu, sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren, 1990 : 34-35).

Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan.

Sastra menyodorkan ke hadapan kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaannya. Di dalamnya tercakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya.

Di dalam sastra, seperti halnya di dalam kajian tentang kebudayaan, manusia disorot sebagai makhluk sosial, makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk kebudayaan. Tak mengherankan sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah tertentu.

Manusia individual, atau sang tokoh dalam sastra tersebut, hanya cuilan kecil dan bagian dari sastra yang besar dan luas: bagian dari sastra yang mewakili potret zaman dan cerminan masyarakat tadi. Tapi, sekecil apa pun peran sosialnya, manusia adalah aktor. Dia aktor penentu dalam hidupnya sendiri, dan dalam dunianya.

Maka, ketika di zaman bergolak sastra dianalisis dalam kaitannya dengan—misalnya—semangat nasionalisme, sebagaimana analisis Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia, 1933-1942, Keith Foulcher memperlihatkan bahwa dalam gagasan Takdir (Sutan Takdir Alisjahbana) seniman memiliki peranan sebagai pemimpin dan penunjuk jalan dalam proses perubahan sosial. Pendirian ini menimbulkan perdebatan dan penentangan dari banyak kalangan, terutama, saya kira, dari Goenawan Mohamad, seperti dapat dibaca kembali dalam Sang Pujangga, buku yang diterbitkan untuk memperingati 70 tahun Polemik Kebudayaan dan menyongsong 100 tahun Takdir Alisjahbana.

Bagi Goenawan, perubahan tidak datang dari sastra dan seni, melainkan dari politik. Ia menolak gagasan Takdir bahwa sastra bisa menjadi penggerak masyarakat. Hal ini dianggapnya sebagai terlalu banyak berharap terhadap sastra dan seni. Goenawan beranggapan bahwa Takdir membesar-besarkan peranan seniman.

Dalam buku itu juga Sutardji Calzoum Bachri menganggap seni terlalu lemah, dan sastra baginya cukup berhenti pada kata. Sastrawan ialah manusia “kata”, bukan manusia “tindakan”. Manusia “kata”, baginya, tak sama dengan manusia “tindakan”. Ia tak ingin seperti Takdir yang menempatkan seni di luar proporsinya, menuntut di luar kodratnya.

Emha Ainun Nadjib, dalam buku yang sama, lain lagi cara memandangnya. Takdir dan Goenawan dianggap orang-orang yang tertutup dari dialog sehat karena tak mau memahami kebenaran lain di luar diri mereka. Takdir bicara tentang sastra yang memiliki tanggung jawab besar, sementara Goenawan lebih membatasi sistem forma keseniannya dalam sistem nilai dan disiplin seni itu sendiri, sedangkan tanggung jawab sosial dianggap merupakan bagian dari perjuangan di luar dunia seni. Kedua tokoh ini dianggapnya hidup dalam blok-blok pemikiran dan mazhab—bila tidak kiri, ya kanan, bila bukan Barat, ya Timur—sehingga kemandirian mereka dalam berkesusastraan layak dipertanyakan. Bagi Emha, yang tampak ialah komitmen kemanusiaan para seniman dewasa ini umumnya lebih menyempit pada dirinya belaka. Kita butuh sastra yang bukan Marxis, dan bukan kapitalis, melainkan sastra Indonesia yang merdeka dari dominasi siapa pun, termasuk dari dominasi panglima di bidang politik maupun kebudayaan sendiri.

Lebih tegas saya kira sastra membawa muatan, dan menawarkan pada kita, suatu corak ideologi, atau faham, misalnya faham kebangsaan, yang perlahan tumbuh dalam kesadaran kita setelah sebuah karya sastra bisa betul-betul dibaca banyak kalangan dan memberi mereka inspirasi. Apa pun maknanya, faham kebangsaan itu kita tangkap, merasuk di dalam diri, dan melekat menjadi bagian hidup kita. Ia menjadi “api” yang menyala, terutama, di zaman bergolak.

Gagasan-gagasan simbolik Takdir dalam Layar Terkembang maupun dalam Kalah dan Menang, dan pemikiran para penentangnya, saya kira jelas sudah menjadi warisan kebudayaan yang memperkaya hidup kita, dan kita bersyukur bahwa perdebatan itu pernah ada.

Kita diberi tahu oleh perdebatan itu bahwa kita tak bisa bersikap apriori menolak, bahwa di masyarakat Minangkabau, misalnya, terjadi perubahan kebudayaan—terutama dalam kaitan kawin paksa—beberapa lama setelah roman Siti Nurbaya lahir. Kira-kira, roman itu lalu menjadi sejenis counter culture, yang mengejek pada tiap saat orangtua hendak memaksakan anaknya untuk kawin dengan orang yang dikehendakinya, dengan argumen: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.

Perubahan di dalam jiwa masyarakat lembut, dan tak terlihat, dan karena itu tak seorang ahli kebudayaan pun yang bisa menyusun hukum-hukum kebudayaan untuk memaksakan ini dan itu, atau menolak ini dan itu yang bisa saja terjadi di dalam suatu masyarakat. Dunia agama yang dianggap kolot, dan statis, sebenarnya bergerak, dan berubah, akibat pengaruh kata-kata, dan juga perbuatan manusia.

SASTRA DAN BIOGRAFI

Penyebab lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri sang pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam study sastra. (Wellek & Waren, 1995 : 82). Biografi dapat juga dianggap sebagai study yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif.

Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya.Dan dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Permasalahan penulis biografi adalah permasalahan sejarah. Penulis biografi harus menginterpretasikan dokumen, surat, laporan saksi mata, ingatan, dan pernyataan otbiografis.

Biografi adalah genre yang sudah kuno. Pertama –tama biografis secara kronologis dan maupun secara logis adalah bagian dari hostigiografi. Biografi tidak tidak membedakan negarawan, jendral,arsitek, ahli hukum, dan pengangggur.

Ada dua pertanyaa yang harus dijawab dalam penyusunan biografi sastrawan. Pertama sejauhmana penulisan biografi tersebut dapat memanfaatkan karya sastra sebagai bahan atau pembuktian . kedua sejauh mana biografi itu relevan dalam dan penting untuk memahami karya sastra.

Hal inilah yang kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia ciptakan. Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif yang dia temukan. Dia ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia (Esten, 1978 : 9-10).Karena karya sastra (seni) dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra (seni) itu. Karena sifatnya yang kreatif-imaginatif, karya sastra (seni) menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra, novel, misalnya, menyuguhkan cerita. tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya. Sebagai karya seni, karya sastra dicipta dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya.

Pandangan tersebut, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: “l’art pour l’art” yang dalam bahasa Inggrisnya “art for art’s sake” yang berarti “seni untuk seni”.

Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang sebagai “dirinya sendiri” sebab ia “mampu berdiri sendiri (self-sufficient) “; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral.

Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l998). Sudut Pandang MimetikSecara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni), sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuangkan dalam karya sastra (seni)-nya.

Dengan demikian karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau kehidupan manusia.

Sudut Pandang PragmatisPandangan terhadap karya sastra (seni) secara pragmatis ini menggeser doktrin “seni (hanya) untuk seni” sebagaimana terurai di atas. Dalam kaitan ini, Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni harus dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya.

Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.

Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai bahan perenungan. Kalau sastra (seni), misalnya novel, dianggap sebagai “model” kehidupan manusia, betatapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadap guru atau sebaliknya, dan sebagainya).

PENDEKATAN DALAM KAJIAN SASTRA

Didalam kajian sastra ada beberapa pendekatan tentang kajian sastra yang masih relevan sampai saaat ini meskipun banyak muncul pendekatan-pendekatan baru dalam sastra seperti Pendekatan obyektif yang merupakan pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra. Dengan pendekatan obyektif ini penelaah melihat karya sastra sebagai produk manusia atau artifak. Karya sastra, dalam hal ini, merupakan suatu karya yang otonom, yang dipisahkan dari hal-hal di luar karya itu sendiri. Dengan demikian telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif beranjak dari aspek-aspek atau unsur-unsur yang langsung membangun karya sastra. Signifikansi dan nilai karya sastra dilihat dari unsur-unsur dan keterhubungan antara unsur-unsur karya sastra. Ilutrasi di atas diderivasikan dari gagasan Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp, yaitu : (the objective approach) will explain the work by considering it in isolation, as an autonomous whole, whose siginificance and value are ditermined without any reference beyond itself (Abrams, 1953:7).

Telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif sering dikenal dengan telaah struktural, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan tema, peristiwa, tokoh, alur, setting, sudut pandangan, diksi yang terdapat dalam karya sastra. Seperti pada karya sastra novel dan roman yang sampai pada saat ini masih menggunakan pendekatan struktural.

Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan. (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau studi pribadi. (2) Studi proses kreatif. (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Mempelajari dampak sastra pada pembaca. Kemungkinan (1) & (2) bagian dari psikologi seni. Kemungkinan (3) berkaitan pada bidang sastra. Kemungkinan (4) pada bab sastra dan masyarakat. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang, yang mana pada bagian akhir ini menurut mereka merupakan tahapan yang paling kreatif

Karya sastra yang menampilkan cermin masyarakat tampak lebih dominan terdapat pada novel daripada puisi atau drama, meski tidak sedikit pula drama dan puisi yang dihasilkan sas-trawan-sastrawan kita, sarat menampilkan gambaran demikian. Khusus mengenai novel, ada ke-cenderungan masalah tersebut berkaitan dengan warna lokal atau gambaran tradisi masyarakat tertentu. Jadi, tidak semua karya sastra dapat secara leluasa dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologis. Dalam hal ini, cermin masyarakat itupun mesti selalu dalam konteks konvensi sastra.

Mengingat pengarang tidak dapat melepaskan diri dari situasi sosio-budaya yang me-lingkarinya, maka pendekatan sosio-budaya untuk menjelaskan karya sastra, masih amat diper-lukan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keanekaragaman tradisi sosio-budaya pengarang kita. Masalahnya akan terasa penting saat kita mencoba menganalisis novel zaman Balai Pustaka. Analisis intrinsik hanya akan menghasilkan kesimpulan bahwa tema novel-novel itu berkisar pa-da persoalan adat; tokoh hitam-putih; amanat eksplisit, yang justru mengurangi nilai artistiknya. Padahal, novel Sitti Nurbaya atau Salah Asuhan, dalam beberapa hal justru mencerminkan ke-adaan masyarakat pada masa itu. Persoalannya memang kompleks. Ia berkaitan dengan kebijak-sanaan Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial dan situasi sosial serta semangat zamannya.

PENUTUP

Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Yang pertama-tama perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara teori, kritik, dan sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan criteria yang ada pada satra itu sendiri. Kritik sastra adalah studi karya-karya konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra masa kini dan masa lampau.

DAFTAR PUSTAKA

Brahim, Drs. 1985. Apresiasi Puisi dan Kesusastraan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka

Darma Budi, 2004, pengantar Teori Sastra” Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Mulyana, Selamat.1952. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta Balai Pustaka

Pradopo, Djoko Rahmat, 2008, Beberpa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Penerbit Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene dan Austrin Warren। 1968. Theory of literature , Pinguin Books : Harmondswort.

NOVEL Salah Asuhan sungguh lebih dari sekadar roman. Ia juga merupakan pandangan kritis pengarangnya, Abdoel Moeis, terhadap dampak politik etis (Etische Politiek) yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad ke-20. Moeis menyiratkan pesan, pendidikan Barat yang dinikmati sebagian kaum bumiputra seharusnya tak membuat mereka tercabut dari akar budayanya. “Orang Timur jangan sekali-kali menjadi sepuhan Barat,” ujar Mariam, ibu dari tokoh utama novel ini, Hanafi. Sebagian sejarawan menganggap politik etis merupakan awal munculnya kesadaran berbangsa bagi bumiputra. Memang, salah satu “rukun” dalam trias politika kebijakan ini adalah memperbanyak sekolah. Maka sejak 1903 Kerajaan Belanda giat membangun sekolah sejak tingkat Volk School (sekolah desa) hingga Algemeene Middelbare School (AMS). Dari bangku-bangku pendidikan inilah meletup bara semangat kebangsaan itu.

Tetapi, dalam pandangan Moeis, interaksi bumiputra dengan pendidikan dan kebudayaan ala Barat itu memercikkan ancaman lain: seseorang bakal tercabut dari akarnya. Seseorang akhirnya akan menjadi “piatu” dari adat-istiadat leluhurnya. Moeis mewujudkan kegelisahannya itu dalam relasi rindu dendam antartokoh utama Salah Asuhan: Hanafi–Corrie du Bussee–Rapiah, serta Ibunda Hanafi.
Hanafi adalah tokoh yang paling terempas dalam gelombang krisis identitas itu. Tamat dari HBS di Betawi, serta lama bergaul dengan orang-orang Eropa, pemuda Melayu totok ini menjadi gandrung ingin menjadi warga kebudayaan Eropa.

Untuk mewujudkan impian itu, dia rela melepaskan cara berpikir dan adat Timur. Hal itu dilakukan bukan saja agar dapat mengawini Corrie–perempuan blasteran Prancis-Minang–tetapi karena pada akhirnya ia memang begitu membenci kebudayaan Timur itu.

Maka ringan saja ia lalu meletakkan gelar sutan pamenan yang disandangnya. “Di dalam segala ‘hitungan di kampung’, anakanda tak usah dibawa-bawanya lagi, karena dengan rela hati ananda sudah keluar dari adat dan keluar dari bangsa,” tulis Hanafi dalam suratnya kepada ibunda.

Dengan surat itu pula Hanafi memutuskan hubungannya dengan istri pilihan ibunda, Rapiah. “ ... jika ananda sudah tentu menjadi orang Belanda, istri ananda itu haruslah yang berpatutan benar dengan keadaan dan pergaulan ananda.”

Demikianlah. Rapiah memang personifikasi dari “masa lalu” yang hendak dibelakangi Hanafi. Rapiah adalah istri yang sudah memenuhi segala tuntutan adat. Sesungguhnya perceraian sepihak ini ibarat manifesto Hanafi yang memutuskan hubungan dirinya dengan bumi pertiwi.

Tetapi Moeis melihat bahwa perpindahan budaya semacam itu tak hanya ditentang kaum asal Hanafi. Pada masa itu, kaum Eropa pun memandang hina pasangan Hanafi-Corrie (setelah mereka kelak menikah). Bahwa dengan besluit pemerintah, Hanafi sudah dinyatakan memiliki hak sama dengan hak bangsa Eropa (dengan nama baru Christiaan Han), orang Barat tetaplah memandangnya sebagai bumiputra belaka.

Menurut Haji A. Hamid, pengajar Universiti Sains Malaysia, novel Salah Asuhan ini menunjukkan hebatnya persoalan krisis identitas dalam wacana pascakolonial. Ia melihat Hanafi sedikit banyak sama dengan tokoh Husin dalam cerita pendek Cerita Sepanjang Jalan IX karya penulis Malaysia, Keris Mas. “Keduanya mengalami kegamangan terhadap budaya leluhur,” kata Hamid dalam sebuah seminar kesusastraan internasional di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejak terbit pertama pada 1928, Balai Pustaka telah 30 kali mencetak ulang karya Moeis ini (cetakan terakhir pada 2004). Ini menunjukkan problem yang menjadi tema pokok Salah Asuhan ternyata tetap tersimpan melintasi zaman demi zaman. Hingga sekarang, persoalan krisis identitas–dengan berbagai variannya–masih saja diidap oleh bangsa yang telah merdeka hampir 64 tahun ini.

Bagaimanakah peta politik sastra Indonesia selama 100 tahun (1908-2008) belakangan ini? Dalam makalah ini akan dijelaskan secara deskriptif peta politik sastra Indonesia dalam atu abad kebangkitan nasional. Kita tahu bahwa perkembangan politik di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia. Siklus perubahan politik 20 tahunan, misalnya, bisa terbaca dalam penyebutan angkatan yang diberikan kritikus sastra H.B. Jassin. Di masa kolonialisme, pengaruh itu tampak dalam karya sastra, baik yang memiliki semangat antikolonialisme di zaman Belanda maupun berkembangnya simbolisme di zaman Jepang akibat situasi yang sangat represif. Di masa pemerintahan Soekarno, perbedaan ideologi yang demikian tajam nasionalisme, agama, komunisme juga berdampak langsung terhadap perkembangan sastra Indonesia, yakni dengan merasuknya ideologi dalam diri sastrawan maupun dalam karya sastra yang dihasilkannya. Hal ini dapat terbaca dengan jelas dalam polemik antara sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung nilai-nilai realisme sosialis dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai humanisme universal.

Di masa pemerintahan Soeharto, polemik antara sastrawan Manikebu dengan sastrawan Lekra sedikit menyusut dalam paruh pertama masa pemerintahannya, namun semakin mencuat di paruh kedua masa pemerintahan Soeharto. Indikasinya adalah munculnya polemik hadiah Magsaysay pada 1995, saat sastrawan Lekra, Pramoedya Ananta Toer, memperoleh hadiah tersebut. Polemik itu dimotori oleh Taufiq Ismail, salah satu ujung tombak sastrawan Manikebu.

Pemerintahan Soeharto yang cenderung sentralistis juga menimbulkan reaksi dikalangan sastrawan, yakni dengan munculnya suara-suara revitalisasi sastra pedalaman yang menolak Jakarta sebagai pusat. Selain itu, kecenderungan apolitis yang diterapkan pemerintah Soeharto juga direspons dengan gagasan sastra kontekstual yang disuarakan Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Kini, di era reformasi, sastrawan Indonesia juga merasakan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan lahirnya semangat untuk menghargai perbedaan (multikulturalisme). Jiwa bhinneka tunggal ika yang terdapat dalam karya sastra klasik Indonesia abad ke-14, kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, seperti dibangkitkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya di Indonesia.

Pendahuluan.

Dalam sejarah sastra Indonesia, selalu ada dua kutub yang saling bersinggungan dan bernegosiasi. Relasi kuasa antara pihak yang merepresi dengan pihak yang tertekan senantiasa menimbulkan gejolak, konflik, dan perubahan. Penelitian ini dibatasi pada satu abad kebangkitan nasional Indonesia, yakni dimulai pada 1908 saat kesadaran berbangsa Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 2 dari 39 Batu, 12 14 Agustus 2008 mulai tumbuh di kalangan pemuda-pemuda Indonesia yang mendirikan organisasi Boedi Oetomo hingga 2008, yang bertepatan dengan satu abad perjalanan bangsa Indonesia. Dalam penelitian terdahulu, saya telah menyinggung adanya dua kiblat dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Budha yang sangat kuat, yang terpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera (Sambodja, 2005: 174). Kedua kiblat itu bisa menjadi rujukan dan runutan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan itu juga diperkuat dengan hasil penelitian Kratz (1987) yang memperlihatkan bahwa pada 1983, sastrawan Indonesia yang menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia banyak berasal dari kedua kiblat itu, yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%). Saya tidak mempersoalkan benturan dari kedua kiblat itu, karena masing-masing memiliki kekhasannya tersendiri. Karya-karya sastra Jawa lebih banyak terpengaruh oleh karya sastra India (Zoetmulder, 1985). Naskah Jawa tertua yang puitis, Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, misalnya, terbaca adanya pengaruh Mahabarata karya Vyasa. Sementara karya sastra Melayu abad ke-16 dan 17 lebih banyak dipengaruhi karya sastra Arab dan Persia (Hadi, 1995). Ajaran tasawuf dalam karya-karya Hamzah Fansuri, misalnya dalam Sidang Ahli Suluk , memperlihatkan pengaruh pemikiran sufi sebelum abad ke-13, seperti Al Hallaj, Imam Al-Ghazali, dan Ibn Arabi (Hadi, 1995: 21).

Hamzah Fansuri dibunuh dan karyanya diberangus atas anjuran ulama-ulama Aceh yang berafiliasi dengan pusat kekuasaan. Dalam pembacaan Sikorsky (1970), karya sastra Jawa yang lebih modern, seperti karya Ronggowarsito, yang menggunakan bahasa Jawa, seharusnya diperhatikan oleh

penulis sejarah sastra Indonesia, karena message yang disampaikan pengarang masih relevan bahkan hingga hari ini.

Sikorsky juga menilai, selama ini pakar sastra seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin menggolongkan sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra, yakni bahasa Melayu tinggi. Penggolongan semacam itu menafikan karya sastra lainnya yang menggunakan bahasa Melayu rendah, seperti karya Semaun dan Mas Marco Kartodikromo. Kedua nama tersebut tidak tercantum dalam khasanah sastra Indonesia karena dianggap meracuni masyarakat, berbau komunis, dan mengandung pornografi. Padahal, penilaian itu menggunakan perspektif atau kacamata kolonial Belanda. Kalau menggunakan perspektif lain, maka yang tampak adalah pencerahan, yakni pemikiran baru yang keluar dari batas-batas konvensi, yang berisi semangat Indonesia, karena mengandung antiimperialisme atau antikolonialisme. Penggolongan sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Melayu tinggi tidak saja menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu rendah, tapi juga menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa daerah. Betapa banyak karya sastra yang tidak termasuk dalam khasanah sastra Indonesia hanya karena menggunakan bahasa daerah, seperti karya Ronggowarsito, misalnya, padahal message karya Ronggowarsito itu tetap abadi hingga kini. Semangat Indonesianya, yang antifeodalisme, sangat kentara dalam karya-karyanya. Sayang kalau karya sastra produk anak bangsa yang berbobot seperti itu luput dari perhatian para ahli sastra atau penulis sejarah sastra Indonesia.


सेजारह केसुसस्त्रान इंडोनेशिया