Sabtu, 27 Desember 2008

HAKIKAT ILMU DALAM DISIPLIN AKADEMIS


Pengantar

Sejak awal sejarah ternyata manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Dalam kehidupan sehari-hari Ilmu pengetahuan, yang kadang disebut sains, merupakan komponen terbesar yang diberikan sebagai mata pelajaran dalam semua tingkatan pendidikan di samping humaniora dan agama.Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dari mulai pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi ada banyak sekali cabang disiplin ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan sebagai disiplin akademik tersebut semakin lama semakin berkembang seiring munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialis bidang tertentu.

Untuk memberikan gambaran tentang begitu banyaknya disiplin ilmu dan bidang-bidang kajiannya, maka perlu adanya pembahasan khusus tentang hal tersebut. Salah satu upaya pembahasan, makalah ini disusun untuk menuju jalan pemahaman disiplin akademik yang dimaksud di atas.


Hakikat Ilmu

Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris (Suriasumantri, 1984b).
Hal senada diungkapkan oleh Adisusilo (1983) yang menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan atau science adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Karena itu, ilmu pengetahuan harus mempunyai sifat ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya adalah bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara kerja yang terperinci, baik yang bersifat induktif maupun deduktif, sesuai dengan tahapan-tahapan metode ilmu, misalnya dimulai dengan observasi, perumusan masalah, mengumpulkan dan mengklasifikasi fakta, membuat generalisasi, merumuskan hipotesis, dan membuat verifikasi.
Sementara itu, Gie (1984) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsepsi ilmu yang sistematik dan lengkap hendaknya mencakup segi-segi denotasi (cakupan), konotasi (ciri penentu), dan dimensi (keluasan). Ketiga segi tersebut perlu dibedakan secara tegas dan tidak dicampuradukkan dalam pembahasan tentang ilmu.
Menurut Suriasumantri (1984a) ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau keberadaan ilmu.

Ontologi membahas tentang apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian, bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita berpaling kepada epistemologi, yakni teori pengetahuan (Suriasumantri,1984a). Menurut Pranarka (1987), orang perlu mencari dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi epistemologinya. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan pengetahuan, berkaitan dengan axiologi yakni teori tentang nilai. Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan.

Secara lebih rinci, Suriasumantri (1984b dan 1984c) menyatakan bahwa tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan axiologi. Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.


Disiplin Akademis

Suatu disiplin akademik atau bidang studi, adalah suatu cabang pengetahuan yang diajarkan atau diteliti di tingkat perguruan tinggi. Disiplin-disiplin ini didefinisikan dan diakui oleh jurnal akademik yang mempublikasikan riset pada suatu bidang serta masyarakat terpelajar dan departemen atau fakultas akademik yang menjadi tempat para praktisi di bidang tersebut. Masing-masing bidang studi biasanya memiliki beberapa subdisiplin atau cabang yang garis batas antara masing-masing bidang tersebut sering kali bersifat buatan dan ambigu.

Jika dilihat dari sudut pandang siswa, keefektifan dalam pembelajaran listening bergantung pada konsentrasi mereka selama proses belajar mengajar, penguasaan kosakata, dan pronunciation. Seperti pada reading, agar pembelajaran listening lebih efektif maka siswa harus terlebih dahulu mengetahui kebutuhannya, sehingga mereka tahu apa yang harus mereka dengarkan.

लंदासन ओंतोलोगी, एपिस्तेमोलोगी दान

LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

DALAM ILMU POLITIK

PENDAHULUAN

Membahas tentang pengembangan ilmu tentu kita tidak bisa lepas dari sejarah filsafat, Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia

Maka dari sejak munculnya ilmu alam dan ilmu sosial baik di negara-negara maju dan berkembang di belahan dunia, muncul sebuah ilmu pengetahuan baru yakni ilmu politik, Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisa sistem politik dan perilaku politik. (http//sejarah ilmu politik,wikepedia,) ilmu politik ini bukanlah ilmu pengetahuan yang baru, sehingga harus memperjuangkan kedudukanya untuk menjadi ilmu pengetahuan yang penting disamping ilmu-ilmu yang lain karena sebuah ilmu pengetahuan itu dapat dikatakan ilmu pengetahuan bila cara penelitiannya mempunyai landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Karena Menurut Suriasumantri (filsafat ilmu, 2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu pengetahuan (ilmu politik), paling sedikit kita pertanyakan (1) apa hakikat gejala/objek itu, (2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu, (3) apa manfaat gejala/objek itu.

A. Landasan Ontologi dalam Ilmu Politik

Landasan ontologi adalah ilmu yang mempersoalkan “ada” dan meliputi persoalan apakah artinya ada itu , jadi pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu tersebut karena kita tidak akan bisa menemukan realitas dari objek suatu ilmu itu kalau tidak ada landasan ontologinya. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dari ilmu politik ini melalui pengalaman pancaindra adalah dunia pengalaman manusia secara empiris baik yang berupa tingkat kwalitas maupun kwantitas hasil yang dicapai, objek materi ilmu politik yang dibahas ini ialah sisi politik yang mengatur tentang seluruh kegiatan kenegaraan yaitu : tentang penguasa dan kekuasaan dalam negara, kepatuhan dan perubahan “ sehingga dengan ketiga objek dari ilmu politik ini terbentuk suatu negara yang memiliki konstitusi dan mempunyai martabat serta mempunyai suatu sistem pemerintahan yang demokratis.

B. Landasan Epistemologi dalam Ilmu politik

Dilihat dari segi filsafat ilmu Epistimologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Epistimologi juga disebut teori ilmu pengetahuan (theory of knowledge ) epistimologi dapat didefenisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan, dalam metafísica, pertanyaan pokoknya adalah “ apakah ada itu” ? sedangkan dalam epistimologi pertanyaann pokoknya adalah “ apa yang dapat saya ketahui” jadi dilihat dari landasan epistemologi, ada beberapa pertanyaan yang muncul dari pembahasan ini yaitu :

  1. Apa yang dimaksud dengan ilmu politik ?
  2. dan apa yang dikaji oleh ilmu tersebut ?

Menurut Dorothy Pickless (pengantar ilmu politik,1991. 1-2) Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisa sistem politik dan perilaku politik,

jadi di lihat dari pengertian diatas ilmu politik mengkaji tentang penguasa dan kekuasaan-nya dalam negara, kepatuhan, dan perubahan, sehingga kita tau tujuan dan maksud dari negara itu sendiri dan sistem peraturan perundang-undangan bisa lebih baik dan bisa memberikan kebahagiaan kepada setiap warga negara dan bisa membuat jiwa mereka sebaik mungkin.

1. Penguasa dan Kekuasaan dalam negara :

Laski menyatakan bahwa pembahasan mengenai politik adalah pembahasan yang “menumpukkan perhatiannya pada kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara-negara teratur”.(Dorty pickles, 1991.22) jadi kehidupan bersama dalam suatu negara memerlukan penguasa yang ditaati. Tanpa penguasa, kehidupan masyarakat akan berada pada situasi yang kacau, penuh anarki dan pada ujungnya akan mengancam eksistensi manusia , ibnu khaldun menyatakan “ kepentingan pada penguasa bukan pada diri dan tubuhnya seperti bentuk badannya, luas ilmunya, indah tulisannya dan ketajaman otaknya. Keperluan mereka terletak pada hubungan dia dan mereka, karena itu kekuasaan dan penguasa bersifat relasional yang seimbang antara kedua belah pihak, penguasa memiliki rakyat dan rakyat memiliki penguasa”. (dikutip Muhammad Azhar, filsafat politik, 1996.102 ) .

Jadi artikulasi pernyataan ini bisa berarti bahwa ibnu khaldun memandang penguasa bukan pada atribut penguasaannya, melainkan sekedar dipercaya rakyat untuk mengurus mereka, dapat juga dikatakan bahwa relasional disini adalah relasi demokrasi. Jadi kepentingan rakyat terhadap penguasa bukan dilandasi karena sesuatu hal yang luar biasa, melainkan rakyat mempercayainya untuk mengurus kepentingan mereka. Karena menurut ibnu khaldun baik buruknya seorang penguasa terletak pada bagaimana memimpin rakyatnya, cara keras, penuh hukuman atau dengan cara lemah lembut, karena itu penguasa itu lebih baik jangan terlalu pintar karena sesuai dengan hadits yang artinya “ berjalanlah sesuai dengan langkah yang terlemah diantaramu”. Maka penguasa yang terbaik bukanlah yang paling pintar, tetapi orang yang bersifat pertengahan, al-mahmudah huwa tawasut”. (yusuf musa dalam Filsafat dan Negara Islam, hal. 72).

Meskipun Ibnu Khaldun tidak menghendaki terlalu pintar untuk suksesi kepala negara tetap mensyaratkan seorang calon harus disetujui oleh orang yang berhak memilih dan berhak untuk dipilih, dan harus memiliki pengetahuan, adil, mampu sehat badan, panca indera dan tentunya dari etnis tempat dimana dia menjadi warga negara. Untuk menghindari kesewenang-wenangan penguasa dalam menjalankan kekuasaannya sebagai kepala negara tentunya dibikin peraturan-peraturan atau kebijakan politik tertentu yang harus di taati oleh semua pihak, peraturan-peraturan itu berasal dari hasil musyawarah dengan para cendikiawan, negarawan dan para ilmuan yang pintar dalam bidang tersebut sehingga sistem pemerintahan berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para masyarakat. Mau pun peraturan yang bersumber dari ajaran agama, dan diantara kedua aturan itu, menurutnya kriteria yang yang kedua lebih baik karena tidak saja keamanan di dunia akan terjamin tetapi juga diakhirat nanti.

Dalam peraturan-peraturan yang telah disebutkan diatas ada peraturan yang lebih penting juga, yaitu peraturan yang berasal dari rasio/akal, ini berarti kepala negara agar mampu menjalankan tugas secara efektif dan mantap stabilitas nasionalnya. Serta hubungan antar warganegara berjalan harmonis, tidak harus dilandaskan pada hukum agama melainkan pada moralitas konvesional, disni berlaku konvensi moral itu sebagai landasan hukum.

Moralitas cukup sebagai dasar dengan alasan bahwa tidak mungkin orang yang tidak bermoral akan samapai kepada kekuasaan bermoral. “ Kekuasaan pada hakekatnya adalah seperti pohon. Pohon kekuasaan itu yang mempunyai batang dan juga memiliki cabang-cabang, batang yang tidak punya cabang itu seperti orang yang tampil didepan umum tanpa menggunakan busana, batang itu adalah solidaritas dan pendukungnya sedangkan cabang itu adalah sifat –sifat terfuji-Nya”.(Munawir Sazali,1993 Islam dan Tatanegara) dalam pada itu penguasa harus bisa membawa sifat-sifat terpuji dan sudah tentu diaplikasikan kedalam realitas kehidupan.

Implikasi kaitan erat antara moralitas dan penguasaan ini adalah untuk menghindari pemikiran masyarakat bahwa politik itu licik dan tidak bermoral; hubungan penguasa itu adalah hubungan antara yang kuasa dan yang dikuasai, antara yang lemah dan yang kuat, antara yang terlindas dan yang melindas.

2. Kepatuhan

Apa yang akan kita bicarakan ini adalah mengenai fakta yang berkaitan dengan organisasi politik, yaitu “mengenai hak keadaan tertentu yang berbeda dan di negara – negara yang berlainan, di mana manuisa mengatur hubungan antara negara dan antara mereka sendiri” (Dorty pickles, 1991. 49). Dengan demikian kalau kita lihat dari pernyataan Dorothy Pickles diatas, kita harus mendapatkan jawaban atau persoalan lebih luas atau bebas : mengapa mereka mematuhi negara? Pada umumnya, perlu kita akui bahwa tanpa organisasi atau aturan, masayarakat akan menjadi dan mengalami kemunduran sehingga mengalami keadaan yang anarkis dan kacau, menurut David Thomsin “seorang individu merasa memiliki tanggung jawab untuk mematuhi pemerintah dimana dia menjadi warga negera” (1986.Pemikiran-pemikiran Politik,Ter. 49). Tetapi pada hakikatnya, kita juga tahu bahwa adakalanya kepatuhan itu akan berakhir atau malahan memicu sebuah revolusi. Dengan demikian, apakah mungkin bagi kita untuk mencapai suatu kesimpulan yang menyebabkan manusia itu merasa bahwa sebagai suatu peraturan yang umum. Mereka harus mentaati pemerintah mereka sebagai bukti bahwa dia patuh terhadap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan penyelenggara negara.

Mengapa kita mentaati negara? Seperti kata Dorothy Pickles yang mengutip perkataan Louis ke XIV dalam bukunya pengantar Ilmu Politik bahwa,“ aku adalah negara”. Maka apa yang dimaksudnya adalah : aku adalah pemerintah dan apa yang aku titahkan itu tidak dapat dibantah” .(1991.30) Terdapat suatu jawaban yang keliatan mudah dan nyata pada persoalan tesebut. Kita melakukan yang demikian karena tidak ada piihan lain, negara memang memiliki kekuasaan untuk memaksa kita untuk taat kepadanya. Namun senantiasa terdapat sejumlah orang yang tidak puas terhadap sistem politik yang disetujui oleh warganegara lainnya. Jika hanya sebagian kecil saja yang pada waktu-waktu tertentu bersedia melancarkan revolusi untuk mendapatkan suatu perubahan, maka adalah mereka merasa tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan senjata yang dimiliki oleh negara itu.

Penjelasan seperti ini memang benar untuk sementara, tetapi untuk jangka panjang tidak begitu tepat. Seperti kata MaxIver yang dikutip Muhammad Azhar dalam Filsafat Politik “ bahawa manusia selalu mendapatkan kekuasaan dengan bantuan kekerasan” (1997.47). Lantas kenapa mereka tidak mempertahankan kedudukannya tersebut ? adakah kita akan mentaatinya hingga mereka tidak lagi menjadi kepala negara, lebih dari 1500 tahun yang lalupun, kita tetap memiliki kewajiban untuk “ memberi kepada pemerintah segala hal yang harus di miliki oleh pemerintah ”dalam negara-negara demokrasi, mengapa paratai-partai yang membangkang untuk turut dalam revolusi sebagai suatu kaidah atau cara untuk mendapatkan suatu kekuasaan, adakah mereka merasa bahwa tujuan tersebut tidak tercapai dalam jangka panjang dibandingkan dengan kaidah-kaidah yang diatur oleh konstitusi, kalau misalnya suatu paksaan untuk mentaati suatu pemerintah yang dianggap sebagai suatu yang bermoral, lantas kenapa kita berpendapat demikian, apakah karena ada suatu dorongan kekuasaan eksternal atau keyakinan yang menyebabkan kita menerima pemerintahan yang memiliki kekuasaan yang telah dilembagakan itu.

Masalah ketaatan atau kepatuhan ini merupakan masalah politik yang asasi. Ini disebabkan karena kita taat pada negara tanpa harus mempersoalkannya atau hanya merupakan suatu kewajiban saja, atau karena sikap yang apatis/ cuek, atau karena kita memiliki keyakinan terhadapnya dan memiliki kepentingan pada ketaatan kita tersebut. Dengan kata lain, kita menyetujui walaupun kita tidak berusaha dengan giat untuk mencapai tujuan yang di inginkan, adalah cukup mudah bagi kita untuk menafsirkan tujuan yang ada pada negara berdasarkan pada keputusan. Aristoteles mengatakan bahwa “ pada dasar-nya manusia itu adalah makhluk politik”. (Muhammad Azhar. 1997. 34) jadi menurut aristoteles semua manusia itu berhak menjadi pemerintah dan berhak juga untuk di patuhi dan di taati, dan semua pemerintahan yang baik menurut pandangan umum adalah pemerintahan yang tumbuh dengan baik pula dan mengamalkan keadilan dengan tegas. Senada dengan hal tersebut adalah jika kekuasaan diberikan kepada raja untuk mencapai tujuan tertentu, maka dia juga harus ikhlas, patuh,mentaati dan bersedia menunaikan tugas tersebut. Menurut locke, “ karena semua kekuasaan yang diberikan untuk mencapai tujuan terbatas pada apa yang hendak dicapai dan dipatuhi”.

Oleh karena itu, sebagai seorang warganegara yang berfikiran waras,maka kita perlu merasa puas karena kita mengetahui tujuan-tujuan tersebut, sebaliknya, jika kita mempersoalkan hak mereka, maka kita perlu membuat keputusan yang lebih dari itu. Di antaranya adalah apakah kita wajib untuk mengubah tujuan-tujuan tersebut, ataupun sebaliknya, dan jika demikian, dengan cara apa pula hal ini akan dapat dilakukan. Hal ini akan menyebabkan kita terpaksa menentukan apakah kita harus mentaati peraturan tersebut, atau perlu menunjukkan ketidaktaatan, baik suatu hak maupun sebagai kewajiban. Maka dalam pembahasan ini sebagian sebab seseorang untuk merasa patut dan mentaati negara akan merupakan topik pembicaraan kita. Sedangkan dalam pembahasan Sub bab berikutnya akan berusaha kita bahas sebagian implikasi yang timbul dari ketidaktaatan dan masalah yang ditimbulkan oleh sebuah revolusi.

3. Perubahan

Hingga kini, sejarah yang mengenai negara-negara yang berbudaya telah memperlihatkan bahwa hubungan antara pemerintah dan warganegaranya senantiasa mengalami perubahan, kadang-kadang perubahan itu berlangsung secara bertahap dan begitu sukar dapat dimengerti. Akan tetapi ada kalanya perubahan itu berlangsung akibat “ledakan kekuatan yang telah tersembunyi begitu lama” yang kita sebut sebagai revolusi. Dalam hal ini yang perlu kita pahami dengan jelas adalah apa yang dimaksud dengan revolusi itu sendiri, menurut Dorothy Pickles ada beberapa pengertian tentang revolusi ini antara lain adalah :

1. pengertian secara umum yaitu, perkataan revolusi yang selalu menerangkan dua buah kaidah yang menghasilkan perubahan dan ruang lingkup perubahan, dalam pengertian yang lebih luas MaxIver mengatakan “ revolusi merangkum perubahan-perubahan yang teradapat pada perwatakan pemerintah, walaupun perubahan tersebut berlaku tanpa melibatkan aksi-aksi kekerasan untuk menjatuhkan struktur pemerintahan yang sudah ada”

2. pengertian secara khusus yaitu perkataan revolusi secara eksklusif mengacu pada kaidah-kaidah yang digunakan untuk mewujudkan perubahan-perubahan khusus dalam sistem pemerintahan. Pengertian yang dimaksudkan disini tidaklah memperhitungkan makna revolusi itu. Penekanannya adalah penggunaan kekerasan atau cara-cara lain yang diluar konstitusi, yaitu penumbuhan sementara sistem pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan sistem atau konstitusi yang lain.

Seperti revolusi Prancis yang menggantikan sistem pemerintahannya menjadi sebuah kerajaan yang absolut yang di laksanakan secara sewenang-wenang dengan pemerintahan yang dijalankan oleh dewan yang di pilih oleh rakyat. Melalui revolusi ini, para pendukungnya berusaha menggantikan kekuasaan Tzar yang bersifat otokratis, karena mereka mula-mula mendirikan sebuah negara sosialis dibawah pemerintahan partai komunis dan dijalankan atas nama barisan buruh.

3. Menurut Laski, pengertian revolusi menyerupai “ suatu usaha kekerasan yang dilancarkan untuk menentang pemerintahan yang berkuasa secara sah untuk memastikan adanya suatu perubahan yang mereka yakini sebagai tujuan yang sebenarnya bagi sebuah negara”

Sedangkan revolusi Prancis adalah merupakan sebuah pemindahan kekuasaan dari suatu kelas kepada kelas yang lain.

Walaupun sebuah revolusi tidak dapat dihentikan di tingkat awal ia pasti akan menghadapi kesulitan, sekalipun para pendukungnya telah berjanji untuk bersatu dalam menjatuhkan rezim yang ada. Ternyata mereka kurang kompak ketika menggantikan rezim yang mereka tumbangkan, hal ini terjadi di Prancis dalam tahun 1848. sekali lagi, untuk memperlihatkan pada kita bahwa kebiasaan sosial yang kuat akan sulit untuk di ubah dibandingkan perubahan di bidang pemikiran. Beberapa kesulitan yang mungkin dihadapi mungkin dapat dibuktikan dengan ringkas, seperti yang dihadapi oleh Prancis dalam masa peralihan dari Zaman pendudukan ke Zaman pembebasannya. Memang ia bukan suatu revolusi, tetapi memiliki keadaan yang sama sulitnya. Sesungguhnya revolusi mungkin menimbulkan masalah yang tidak dapat diatasi. Sejarah telah banyak memberikan kita contoh mengenai revolusi, baik yang berhasil mencapai tujuan awalnya maupun yang tidak mencapai apapun pada akhirnya.

C. Landasan Aksiologi dalam ilmu politik

Jhon dewey “mengatakan bahwa tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, melainkan sejauhmana kita dapat memecahkan persoalan yang timbul dalam masyarakat, artinya adalah kebenaran pengetahuan itu hendaknya menjadi ukuran dalam kegunaan atau kemamfaatanya untuk umum. Jadi bukan pengetahuan itu sendiri yang benar tetapi pengertian itu baru menjadi benar dalam kerangka proses penerapannya”. jadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti luas, yaitu masyarakat sebagai kumpulan individu memiliki harapan sekaligus tujuan yang hendak diwujudkan. Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya norma – norma atau kaidah-kaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa di tegakkan, upaya untuk menegakkan norma-norma tersebut mengharuskan lembaga pemerintah yang memiliki otoritas tertentu agar norma-norma yang ada ditaati, dengan demikian kegiatan individu dalam masyarakat sekurang-kurangnya karena ada kesempatan, dan norma-norma, serta kekuatan untuk mengatur tata tertib masyarkat kearah pencapaian tujuan.

Secara umum politik bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut. Penentuan atau perumusan tujuan merupakan proses seleksi diantara berbagai alternatif yang ada serta penemuan prioritas diantara berbagai alternatif tersebut, pelaksanaan tujuan berarti penentuan kebijakan umum, baik berupa pengaturan maupun alokasi sumber daya yang ada dalam masyarakat, sedangkan untuk melaksanakan kebijakan tesebut diperlukan adanya kekuasaan yang dipakai untuk menciptakan kerjasama,menegakkan aturan-aturan atau norma-norma, dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul. Sesuai dengan tujuannya maka mamfaat ilmu politik adalah :

1. terwujudnya negara yang berdaulat serta mampu untuk bersaing dengan negara-negara lain

2. terciptanya sistem pemerintahan demokratis dan yang bersih dan taat akan peraturan-peraturan yang telah dibuat.

3. terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam menjalankan aktifitasnya sebagai warganegara

4. serta tercapainya negara yang adil makmur dan sejahtera.( Baldatun Thayyibatun Warabbun ghofuur).

kesimpulan

Dari uraian diatas saya menyimpulkan bahwa ilmu politik ditinjau dari landasannya adalah bertujuan untuk membentuk suatu negara atau pemerintahan yang mampu memegang kekuasaan yang dia emban sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah dibuat. Baik itu peraturan yang di buat oleh para ilmuan ataupun peraturan yang asli dari agama yang dia anut, serta mampu untuk merubah keadaan yang tidak begitu baik menjadi keadaan yang aman dan kondusif sehingga apa yang di cita-citakan oleh penguasa atau pun warganegara bisa terlaksana sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah disepakati.

R e f e n s i

Azhar,Muhammad, “filsafat politik perbandingan antara islam dan barat” (Jakarta, Raja Grasindo persada 1997)

Pickles, Dorothy “ Pengantar Ilmu Politik” (Jakarta, Penerbit Rieneka Cipta 1991)

Syadzali, Munawir “Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran “ (Jakarta : UI Press , 1993)

Suriasumantri.S. Jujun “ Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer” (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003)

http//sejarah ilmu politik,wikepedia, diambil malam sabtu, 29 November. 2008